Frieren (Eps. 01)

17
0

Hi, kenalin namaku Bara. Tentu ini bukan nama asliku, tapi biasanya teman-temanku memang memanggilku begitu. Ayahku adalah seorang prajurit. Kapten kapal. Sekitar dua puluh dua tahun yang lalu, saat usiaku 7 tahun, di hari ulang tahun Ayah yang ke-30, ia ditugaskan untuk patroli bersama pasukannya. Dan sejak saat itu ia tak pernah kembali. Kapalnya hilang, lenyap ditelan lautan. Tidak pernah ditemukan sampai hari ini. Dan ibuku, entahlah, sejak kecil aku memang tak pernah bertemu dengannya. Pun, di rumah kami, tak pernah ada foto ibu. Pernah sekali aku bertanya kepada ayah, namun ia hanya menjawab gantung. Katanya ibu ada di suatu tempat. Tapi dimana? Entahlah, ayah pun tidak tau jawaban pastinya.

Oh iya, ngomong-omong soal foto, di rumahku juga ada album foto kakek. Di halaman pertama album itu, ada profil singkat kakek, dan alasannya berkeliling dunia. Untuk menemukan sesuatu katanya. Dan memang, isi album tersebut adalah foto-foto kakek di berbagai kota di dunia. Ada tulisan yang menjelaskan kota dan kapan foto itu diambil. Capetown, New York, Kyoto, London, dan masih banyak lagi. Foto terakhir adalah foto yang di bagian belakangnya bertuliskan, “Brandan, 18 Oktober 1984.” Sungguh nama kota yang asing, seperti nama kota di planet Saturnus, pikirku. Dan ya, foto itu diambil sekitar 2 minggu sebelum kakek berusia 30. Setelahnya, tidak ada lagi foto-foto lainnya. Berhenti sampai di situ.

– – –

Saat ini pukul 8 malam di bulan Januari. Memasuki periode puncak musim dingin di Jepang, suhu udara luar dinginnya memang keterlaluan, sekitar -1 derajat celcius. Ya, sejak lulus kuliah dari USU, aku merantau ke negara ini. Sudah cukup lama. Desember nanti, di usiaku yang ke-30, genap delapan tahun perantauanku di sini. Sendirian. 16.704 km dari rumah. Dan di sinilah, di kamar petak kecil ini, dengan pemanas ruangan yang setengah rusak dan tubuh yang menggigil kedinginan, aku mulai menapaki kembali kisahku. Pikiranku sering melayang jauh, merenungkan tentang ayah yang hilang di lautan luas dan ibu yang wajahnya tak pernah aku kenal. Aku sering bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Dan apakah ada semacam kutukan yang terjadi pada keluarga ini? Pada diriku? Sebab, asal tau saja, biar sudah hampir 30 begini, aku belum pernah punya pacar. Apalagi menikah, boro-boro. Jomblo abadi kata orang-orang.

Hah, sudahlah. Daripada terus meratapi nasib sendirian di kamar dingin ini, aku akhirnya memutuskan untuk berjalan keluar. Memilih untuk menghabiskan waktu di kafe langganan, sebuah tempat kecil yang tersembunyi di sudut Nakameguro, jauh dari hiruk pikuk Tokyo yang tak pernah tidur. Kafe itu, dengan dinding-dindingnya yang dipenuhi dengan rak buku dan lampu-lampu yang menggantung rendah, memberikan kehangatan dan kenyamanan yang sulit ditemukan di kota besar ini. Di sinilah, sambil menyeruput kopi hitam yang pahit, aku mencoba menenangkan pikiran dan mengambil jeda sejenak.

“Tringg”, suara bel berbunyi ketika pintu terbuka. Pertanda ada orang yang masuk. Tak sengaja mataku menoleh. Seorang gadis. Masuk membawa hawa musim dingin bersamanya. Dia terlihat kebingungan, mata cokelatnya memindai ruangan, mencari sesuatu, atau mungkin seseorang. Dengan mantel tebal dan syal yang melingkar di lehernya, dia terlihat seperti seorang penjelajah yang tersesat dalam perjalanan.

Aku tidak bisa tidak memperhatikannya. Ada sesuatu tentang caranya bergerak, lembut namun penuh tujuan, yang menarik perhatianku. Dan ketika matanya bertemu denganku, dia tersenyum, senyum yang hangat dan menenangkan, seolah-olah dia telah menemukan apa yang dicarinya.

Dia menghampiri meja tempatku duduk, menanyakan apakah kursi di seberangku kosong. Suaranya lembut, dengan aksen Kyoto yang kental, mengalir seperti musik. Aku mengangguk, dan dengan gerakan yang anggun, dia melepas mantelnya dan duduk, menghadapku.

“Maaf mengganggu,” katanya, “Tampaknya aku tersesat. Aku mencari sebuah kafe yang konon katanya memiliki koleksi buku seni terbaik di Tokyo, tapi sepertinya aku malah berakhir di sini.”

Aku tersenyum, terpesona oleh kejujurannya yang sederhana dan cara dia memandang segala sesuatu dengan rasa ingin tahu yang tulus. “Kamu berada di tempat yang tepat,” jawabku, menunjuk ke rak buku yang berjejer di dinding. “Mungkin bukan yang terbaik, tapi koleksinya cukup lengkap.”

Percakapan itu mengalir begitu saja, dari buku dan seni, hingga ke budaya dan perjalanan. “Oh ya, Frieren.” Katanya sambil mengulurkan tangan. Kami hampir saja lupa berkenalan karena keasyikan ngobrol, haha. Frieren, ternyata, adalah seorang peneliti yang sedang melakukan studi tentang pengaruh budaya barat terhadap seni tradisional Jepang. Keingintahuannya tentang dunia dan cara pandangnya yang unik membuka jendela baru dalam pikiranku.

Kami berbicara selama berjam-jam, seolah waktu berhenti untuk kami. Lampu-lampu kafe yang semula terang kini telah redup, memberikan suasana yang lebih dekat. Di luar, salju mulai turun, menutupi jalanan dengan selimut putih yang tenang.

Ketika kami akhirnya berpisah, udara dingin malam itu tidak terasa lagi. Ada kehangatan yang tidak biasa, sensasi yang telah lama hilang dari hidupku. Frieren, dengan kehadirannya yang singkat, telah menyalakan api dalam hatiku, membawaku keluar dari kegelapan yang telah lama menyelimuti.

Dan saat itu, aku tahu, pertemuan kami bukan sekadar kebetulan. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru, sebuah perjalanan yang mungkin akan menjawab semua pertanyaan yang selama ini menghantui pikiranku.

Malam itu, setelah berpisah dengan Frieren, aku kembali ke kamar petakku dengan langkah yang entah mengapa terasa lebih ringan. Salju masih turun perlahan, menutupi jalanan Tokyo dengan selimut putihnya. Lampu-lampu jalanan berkilauan lembut, menciptakan pemandangan seperti dalam lukisan. Di dalam kamar, aku merenung. Pertemuan dengan Frieren bukan hanya menghangatkan malam dinginku, tapi juga membawa semburat cahaya ke dalam kehidupanku yang monoton.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aku dan Frieren sering bertemu, menjelajahi kafe-kafe tersembunyi di sudut-sudut kota, museum-museum kecil dengan koleksi yang menarik, dan taman-taman kota yang tenang. Kami berbagi cerita, mimpi, dan ketakutan. Dia mulai membuka diri tentang pribadi dan keluarganya. Tak sepatah katapun yang luput dari perhatianku. Di lain waktu giliranku yang mulai berbagi cerita tentang hilangnya ayah dan misteri tentang ibu yang tak pernah kujumpai. Frieren mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya penuh dengan empati dan pengertian.

Suatu hari, di sebuah taman kota saat salju sedang turun, Frieren mengajakku duduk di bangku taman yang tertutupi salju. Ia mengeluarkan sebuah buku tua dari tasnya, sampulnya sudah usang, halamannya kuning. “Ini adalah buku catatan perjalanan kakekku,” katanya, suaranya bergetar sedikit, “Dia juga seorang penjelajah, seperti kakekmu.”

Dengan hati-hati, ia membuka buku tersebut. Di dalamnya, terdapat catatan perjalanan yang ditulis tangan, lengkap dengan sketsa tempat-tempat yang pernah dikunjungi. Aku menahan napas ketika Frieren membuka halaman yang menunjukkan sebuah sketsa kota dengan keterangan, “Brandan, 20 Oktober 1984.” Hanya dua hari setelah kakekku mengambil foto terakhirnya di kota yang sama.

“Sungguh kebetulan yang luar biasa,” gumamku, sambil menyentuh sketsa tersebut dengan jari-jariku yang dingin.

Frieren menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. “Aku percaya, tidak ada yang namanya kebetulan, Bara,” katanya lembut, “Mungkin, ada benang merah yang menghubungkan kita, lebih dari yang bisa kita pahami sekarang.”

Pertemuan itu meninggalkan aku dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apakah mungkin ada keterkaitan antara kakekku dan kakek Frieren? Dan bagaimana hal itu berkaitan dengan hilangnya ayahku dan misteri tentang ibuku?

Beberapa hari setelah itu, Frieren mengajakku ke sebuah perpustakaan tua di Kyoto. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan kepadaku, sesuatu yang mungkin bisa menjawab beberapa pertanyaan kami. Kami berjalan melewati rak-rak buku yang tinggi, diterangi oleh lampu-lampu yang redup, hingga akhirnya tiba di sebuah meja kerja di sudut paling tenang perpustakaan.

Di atas meja tersebut terdapat beberapa buku dan dokumen tua yang tampaknya telah diteliti oleh Frieren. Dia menunjukkan satu dokumen kepada aku, sebuah catatan ekspedisi yang sangat tua, dan jantungku hampir berhenti ketika aku melihat nama yang tertulis di bagian atasnya.

Namaku, atau setidaknya nama yang serupa, terpampang jelas di sana, diikuti dengan tanggal yang mencurigakan dekat dengan hilangnya ayahku dan perjalanan terakhir kakekku. Aku menatap Frieren, mencari penjelasan, tapi dia hanya memberiku senyum misterius.

“Cerita kita belum berakhir, Bara,” katanya sambil menutup dokumen tersebut, “Ini baru saja dimulai. Dan saya yakin, jawabannya ada di ‘Brandan’.”

Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, dia berdiri, memberiku sebuah senyum yang penuh arti, dan berkata, “Ayo, kita punya perjalanan yang harus dilakukan.”

Saat kami melangkah keluar dari perpustakaan tersebut, langkah kaki kami diiringi oleh keheningan malam yang mendalam. Dalam hati, aku merasa seakan-akan seluruh hidupku yang penuh misteri dan pertanyaan kini sedang mendekati suatu titik terang. Kami berdua tahu, perjalanan yang akan kami tempuh bersama ini bukan hanya tentang mencari tahu lebih banyak mengenai masa lalu, tapi juga tentang memahami siapa kami sebenarnya. Ada rasa antisipasi yang tak terucapkan di antara kami, seolah-olah setiap langkah yang kami ambil semakin mendekatkan kami pada jawaban dari semua teka-teki yang telah lama membingungkan.

Bersambung.

Jabbar A. P.
WRITTEN BY

Jabbar A. P.

RK '7 | FIM '25 | Gooners since born.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *