- Penulis : Yusuf Habibi Harahap
- Penerbit : PT Elex Media Komputindo
- ISBN cetak : 9786230049668
- Halaman : 200
- Tahun terbit : 2023
Dalam Al-Qur’an Surah Al Ashr ayat 1-3, Allah berfirman:
“Demi Masa, Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
Buku karya Yusuf Habibi Harahap mengulas tentang Seseorang yang ingin menemukan jati diri dengan memaknai hidup yang sedang dijalaninya. Buku ini juga memberikan dorongan untuk anak muda agar memanfaatkan masa mudanya agar tidak menyesal sebelum datang masa tua. Buku ini ditulis dalam kurun waktu 2 tahun di kota Madinah Al-Munawwarah tepatnya di perpustakaan Masjid Nabawi. Buku tersebut memiliki ketebalan halaman sekitar 200 halaman.
Menurut Dr. Muhammad Ghazali, seorang muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya tidak mengurung diri didalam kuil yang sempit. Seperti layaknya anak muda zaman sekarang yang banyak mengurung diri di kamar untuk rebahan dan membuang waktunya dengan berselancar di Sosial Media yang seolah luas dengan daya khayalnya tanpa kenal waktu dan menyia-nyiakan waktunya. Sometimes we need to open our eyes and see what’s happening outside. The world isn’t as narrow as your window. Yeah, Dunia nggak sesempit jendela kamarmu. Terkadang, terbesit rasa kekhawatiran dan takut untuk memilih menetap dan melakukan rebahan sebagai rasa pelampiasan lari dari masalah. Namun, dunia diluar sana tak selalu menakutkan seperti yang ada dalam pikiranmu. Bersentuhan dengan dunia luar membuat kita belajar karena suatu saat kita akan terjun ke lingkungan yang lebih luas.
Mahasiswa yang hidup dalam kesehariannya berpacu mengejar waktu selangkah demi selangkah yang ditetapkan aturan kampusnya demi menempuh tiap tingkatan semester, menyelesaikan tugas akhir hingga sampai menyandang gelar sarjana saat wisuda. Semuanya akan wisuda walau berbeda waktu dan tanggalnya.
Seorang dosen juga akan bersikap sama. Pagi datang mengajar, melakukan bimbingan, jika waktu pulang tiba, ia akan kembali ke rumah dengan berbagai pekerjaan yang sudah menanti. Pada masanya, seseorang akan bertemu pada titik akhirnya dan masuk pada masa lain dengan keadaan dan tugas yang lain.
Seorang pemuda jika sampai pada titik dimana ia diatas pelaminan dan kemudian masuk pada keadaan yang baru, tugas dan kewajiban yang baru, yang tentunya tidak sama dengan keadaan sebelum ia duduk diatas pelaminan itu.
Ada semacam kekhawatiran bagi kita dalam perjalanan bersama waktu, meninggalkan satu hal, atau juga melupakannya. Ia adalah tanda tanya. Seiring waktu berjalan, namun akal yang Allah berikan kepada kita, tidak dipakai untuk memunculkan kata ini. Sehingga berlalunya waktu hanya dianggap sebagai masa lalu dan ingatan yang sudah lampau.
Tanda tanya hilang sebab kita disibukkan memikirkan hal-hal sepele dan melalaikan yang penting. Akibatnya kita hanya bisa hidup di catatan kaki pekerjaan dan hasil karya orang-orang hebat. Mengapa kita tidak bertanya apa yang menjadi tanggung jawab kita selama diberi kesempatan hidup di dunia? Mengapa kita tidak bertanya apa yang menjadi kekurangan ibadahku di beberapa hari yang lalu? Apa pengaruhnya sampai hari ini? Bagaimana menyempunakannya di hari esok?
Menurut Dr. Abdullah Karim Bakkar penyebab terpuruknya umat ini adalah hilangnya tanda tanya dari akal dan pikiran mereka. Di saat umat lain berlomba-lomba menciptakan inovasi dan penemuan walau banyak yang melampui batas, namun itu tak membuat mereka pasrah untuk hidup di catatan kaki sejarah. Mengaktifkan sel saraf demi kekritisan dengan memunculkan tanda tanya rasa keingintahuan berlebih sehingga dapat menciptakan solusi langkah-langkah baru untuk masa yang akan datang. Ketika tanda tanya hilang, maka membuat kita selalu menerima apa yang sudah ada dan berjalan walau bagaimanapun bentuknya. Hal ini membuat kita menjadi pasif tanpa memberi perubahan.
Kehidupan yang hanya diberikan sekali oleh Allah harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Dunia kapitalisme menciptakan manusia menjadi seseorang yang bersifat individualisme. Terlalu merugilah kita jika menjadi baik untuk diri sendiri dan jauh dari kata peduli untuk sesama manusia. Dahulu, Allah pernah melaknat suatu kaum yang sibuk sendiri, tak lagi ada yang mau mengajak pada yang kebenaran dan menjauhi yang munkar. Pertanyaan-pertanyaan pada apa yang kurang, apa yang salah, apa yang menjadi solusi, seharusnya menjadi kosakata diskusi sehari-hari seorang muslim yang diberikan Amanah menjadi khalifah di atas bumi Allah. Hilangnya tanda tanya membawa manusia kepada keegoisan dan carut marut lingkungan karena banyak pekerjaan yang tak selesai bahkan terabaikan.
Ada banyak cita-cita Masyarakat untuk menciptakan suatu peradaban yang sempurna dengan melahirkan generasi-generasi yang baik dan memperbaikinya. Keinginan baik itu adalah tanggung jawab kita semua. Mulai dari dalam rumah, Rasulullah mengajarkan untuk menciptakan surga di dunia yaitulah rumah kita, keluarga kita. Keluarga yang baik berasal dari pribadi yang baik. Pribadi yang baik dibekali oleh ilmu. Sebab kebodohan itu bukan dilahirkan kecuali menghasilkan kerusakan dan kekacauan.
Akhirnya, kepada Allah kita memohon jalan terbaik untuk menjadi hamba Allah yang baik dan sukses menjadi agen kebaikan. Hilangnya tanda tanya asalnya itu karena kita kehilangan identitas sebagai seorang muslim. Akarnya adalah kebodohan. Saya sangat suka gaya bahasa penulis dan tulisan pada buku ini yang menjadi bahan sebagai Muhasabah diri. Mari terus belajar dan memohon ampun kepada Allah untuk ditambahkan ilmu yang bermanfaat. Sembari mencari apa yang bisa kita ambil sebagai peran khalifah Allah di muka bumi ini, kita menata diri untuk tidak masuk dalam pergumulan waktu yang sia-sia. Kualitas kita mencerminkan kebaikan yang kita ciptakan dari masa yang Allah anugerahkan kepada kita.
Profil Penulis
Muhammad Yusuf Habibi Harahap lahir di desa Bagan Batu, Rokan Hilir, Riau. Sehari-hari ia mengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Setelah menempuh Pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah, ia kembali ke Medan untuk mengabdikan ilmunya di pesantren yang membesarkannya selama 6 tahun menjadi seorang santri. Sembari mengajar, penulis aktif di beberapa komunitas literasi dan komunitas pemuda. Baginya kehidupan seorang mukmin terlalu murah jika sekedar mengajar. Hidup, baginya harus dibarengi dengan pengabdian kepada sesama. Hal itulah yang membuat hidup tampak mahal dan istimewa. Sejak kecil, membaca baginya adalah kehidupan yang indah dan menulis adalah cara terbaik menggambarkan keindahan tersebut.